Sekeloa, Mataair dan Pohon Loa

sumber: ayobandung.com

Setidaknya sampai tahun 1931, pada saat peta Bandung Utara diterbitkan, sudah ditulis nama geografi Sekeloa dan tergambar situ warna biru muda. Ronabuminya, Sekeloa persis berada di tekuklereng, batas antara ronabumi dataran dengan perbukitan, atau merupakan kaki bukit, kaki gunung, tempat air dari lereng gunung ke luar.

Situ di Sekeloa itu kalau diukur saat ini sesuai yang tergambar dalam peta, luasnya mencapai 3.900 m2. Situ seluas itu, bila kedalaman rata-ratanya dua meter, akan menampung air sebanyak 7.800.000 liter. Air sebanyak itu ke luar secara teratur, tak mengenal waktu, tanpa keran, dan tanpa meteran dari seké, cinyusu, atau mataair. Air yang melimpah-ruah itu ada karena pepohonan yang lebat di kawasan tangkapan hujannya, sehingga air meteorik dapat ditangkap dedaunan, lalu deresapkan oleh jaringan akar ke dalam tanah, ke luar di seké atau cinyusu. Air yang ke luar alami itu lalu tertampung di daerah yang cekung menjadi situ.

Sedikit ke selatan, ada lagi dua situ yang lebih kecil, satu terletak di antara Cibeunyingngora dan Sadangsaip, luasnya 2.450 m2 dan satu lagi di Cihaurgeulis, luasnya 1.225 m2. Kedua situ itu dapat menampung air sebanyak 7.350.000 liter. Bila ketiga situ ini digabungkan, jumlah air yang tertampung 15.150.000 liter. Sebagai gambaran, jumlah air baku itu cukup untuk memenuhi kebutuhan air seluruh penduduk Kecamatan Coblong.

Di Sekeloa, dapat dipastikan ada pohon loa, sehingga menjadi ciri bumi, menjadi sebutan bila akan mengambil air, lalu menjadi nama matair, dan berkembang menjadi nama tempat. Pada saat ini, bahkan nama geografi Sekeloa mencakup kawasan yang lebih luas, karena dijadikan nama kelurahan, yaitu Kelurahan Sekeloa, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, luasnya 117 ha.

Nama geografi Sekeloa terdiri dari seké dan loa. Seké berarti mataair, dan loa (Ficus lucescens BL.), nama pohon yang tingginya mencapai lebih 20 m. Tumbuh dengan subur di kawasan yang ketinggiannya sampai +900 m dpl, terutama di sepanjang sungai, danau, atau di dekat mataair. Oleh karena itu di Cekungan Bandung pada masa lalu, dan di Tatar Sunda pada umumnya yang berkelimpahan air, banyak tumbuh pohon loa. Orang-orang berdatangan mendekati sumber-sumber air yang ditumbuhi pohon loa. Di sanalah mereka membangun rumah-rumah. Nama tempatnya digunakan nama tumbuhan loa yang menjadi ciri mandiri tempat tersebut, seperti: Ciloa, Sekeloa, Bojongloa, Pasirloa, dan Babakanloa.

Adanya pohon loa di suatu tempat, telah mengundang serangga, burung, sehingga kehidupan di pohon itu dapat teramati dengan baik karena menjadi pusat pengambilan dan pemanfaatan air oleh warga. Perilaku burung yang banyak bersarang di pohon loa dapat diamati perilakunya, sehingga kehidupan para burung itu diambil menjadi perumpamaan bagi manusia, seperti paribasa, peribahasa, Jogjog neureuy buah loa, burung jogjog menelan buah loa, untuk menggambarkan keinginan orang yang tidak layak dengan dirinya. Sebesar-besarnya kerongkongan burung jogjog, tak mungkin dapat menelan bulat-bulat buah loa seukuran rata-rata baso atau cilok.

Juga ada babasan, jogjog mondok, burung jogjog menjelang tidur, betapa ramainya sore hari ketika kelompok burung jogjog berbenah menjelang tidur di dahan-dahan pohon loa. Babasan ini menggambarkan orang yang banyak bicara dan saling bersahutan dengan kerasnya.

Burung Jogjog yang menjadi paribasa dan babasan itu di Jawa Tengah disebut cerukcuk atau terucuk (Pycnonotus goiavier). John Mackinnon (1993) menguraikan, jogjog termasuk burung berukuran sedang (20 cm), berwarna coklat dan putih, dengan bagian perut bawahnya berwarna kuning. Mahkotanya cokelat gelap, alis mata bergaris putih, kekangnya bergaris hitam, tubuh bagian atasnya berwarna coklat, sedangkan kerongkongan, dada, dan perutnya berwarna putih dengan garis-garis coklat terang pada bagian sisinya. Burung ini membentuk kelompok sosial, hidup di kawasan sampai ketinggian 1.500 m dpl, suaranya nyaring dan gembira menjelang tidur, ”cak… cak… cak….” yang terus berulang-ulang. Perilaku dan suaranya inilah yang diambil untuk menggambarkan  orang yang banyak berbicara dengan suaranya yang keras.

Burung jogjog banyak bersarang di pohon loa. Sarangnya berbentuk cawan yang dalam, terbuat dari rajutan dedaunan dan ranting-ranting yang dilapisi serat. Telurnya antara 2-3 butir dengan warnanya yang keputih-putihan berbintik-bintik coklat dan ungu. Jogjog bersarang sepanjang tahun, puncaknya pada bulan Maret-Juni.

Kayu loa yang ringan dan kasar, jarang digunakan sebagai bahan bangunan. Namun, kayunya yang berwarna merah dan awet banyak digunakan untuk membuat perabot rumah tangga. Buah loa tumbuh di dahan dan batang, bahkan sampai ke dekat pangkalnya. Walau kurang enak, buah loa ada juga yang memakan, rasanya agak manis tawar. Menurut Scheffer, seperti dikutip K. Heyne (1927), daunnya dapat langsung dimakan untuk mengobati orang yang keracunan kecubung. Sedangkan rebusan daun dan buahnya dapat mengobati murus (mencret).

Pohon loa bagus ditanam kembali untuk menghijaukan sempadan sungai, pinggir situ, danau, mataair, atau tempat-tempat yang lembab. Dengan adanya pohon loa ini, apalagi bila sudah berbuah, akan mengundang serangga dan burung. Bila lingkungan pohon loa itu sudah terbentuk, para pelajar dapat dengan hati-hati mengamati burung dan serangga di pohon loa. Betapa indahnya sebuah kota bila hal ini dapat terjadi.


Burung jogjog banyak bersarang di pohon loa. Sarangnya berbentuk cawan yang dalam, terbuat dari rajutan dedaunan dan ranting-ranting yang dilapisi serat. Telurnya antara 2-3 butir dengan warnanya yang keputih-putihan berbintik-bintik coklat dan ungu. Jogjog bersarang sepanjang tahun, puncaknya pada bulan Maret-Juni.

Kayu loa yang ringan dan kasar, jarang digunakan sebagai bahan bangunan. Namun, kayunya yang berwarna merah dan awet banyak digunakan untuk membuat perabot rumah tangga. Buah loa tumbuh di dahan dan batang, bahkan sampai ke dekat pangkalnya. Walau kurang enak, buah loa ada juga yang memakan, rasanya agak manis tawar. Menurut Scheffer, seperti dikutip K. Heyne (1927), daunnya dapat langsung dimakan untuk mengobati orang yang keracunan kecubung. Sedangkan rebusan daun dan buahnya dapat mengobati murus (mencret).

Pohon loa bagus ditanam kembali untuk menghijaukan sempadan sungai, pinggir situ, danau, mataair, atau tempat-tempat yang lembab. Dengan adanya pohon loa ini, apalagi bila sudah berbuah, akan mengundang serangga dan burung. Bila lingkungan pohon loa itu sudah terbentuk, para pelajar dapat dengan hati-hati mengamati burung dan serangga di pohon loa. Betapa indahnya sebuah kota bila hal ini dapat terjadi.