Ironi Tom & Jerry: Saat Penjaga Rumah Disangka Pengganggu

Kreator: Dimas Jayadinekat (Kompasiana)

Vonis empat setengah tahun penjara kepada Thomas “Tom” Trikasih Lembong atas kasus dugaan korupsi membuat banyak orang mengernyitkan dahi.

Bagi sebagian publik, ini adalah langkah tegas penegakan hukum. Namun di sisi lain, banyak juga yang merasa ada keganjilan dalam narasi yang dibangun: benarkah Tom Lembong adalah penjahat utama?

Dalam podcast Close The Door yang tayang Rabu, (23/07/2025), Ferry Irwandi menyampaikan seseuatu yang kemudian bisa dipersepsikan sebagai sebuah perbandingan yang menggugah.

Ia bercerita dan dapat disimpulkan seperti ini, “Kucing dalam kartun Tom & Jerry, yang sebenarnya cuma menjaga rumah, tapi selalu dianggap bersalah karena dikerjai Jerry.”

Perumpamaan ini tak sekadar lucu-lucuan. Dalam kartun legendaris garapan William Hanna dan Joseph Barbera tersebut, Tom si kucing sebenarnya mendapat tugas yang jelas: menjaga rumah dari tikus.

Namun karena Jerry sering lebih cerdik (Baca: licik) dan memancing kekacauan, Tom kerap tertangkap basah dalam posisi merugikan hingga pemilik rumah memarahinya, bahkan mengusirnya.

Jika direnungkan, Tom bukanlah tokoh jahat. Ia hanya menjalankan tugas. Tapi karena Jerry pandai bermain peran, penonton seringkali lebih simpati pada tikus kecil itu.

Tom jadi tokoh antagonis dan seolah-olah adalah penjahat dalam cerita yang digerakkan oleh provokasi.

Meski motif asli Tom & Jerry sesungguhnya bukan tentang kebaikan versus kejahatan. Dalam banyak wawancara dan kajian budaya, diceritakan bahwa Hanna dan Barbera menciptakan dua karakter ini sebagai wujud konflik abadi antara dua kekuatan yang sama-sama keras kepala.

Karakter Tom dan Jerry tak benar-benar saling membenci, mereka justru tak bisa hidup tanpa satu sama lain. Konflik mereka adalah energi cerita, dan dari situlah muncul pelajaran tentang ketekunan, kecerdikan, serta ironi nasib.

Dalam konteks hukum dan sosial, analogi ini semakin dalam. Kita bisa meminjam istilah dari dunia fisika: Efek Doppler.

Dalam ilmu ini, suara dari sumber yang mendekat terdengar lebih nyaring dibanding yang menjauh.

Begitu pula dalam kehidupan sosial: suara seseorang, terutama mereka yang berada dalam posisi kuasa atau pengaruh, akan terdengar mengganggu jika terlalu keras, meskipun niatnya menjaga sistem.

Tom Lembong, sebagai mantan pejabat yang dikenal vokal dalam banyak isu, mungkin sedang mengalami hal serupa. Ketika ia aktif menyuarakan pembaruan atau transparansi, bisa jadi suaranya dianggap terlalu nyaring oleh pihak-pihak yang merasa terganggu.

Dan seperti Tom si kucing, langkah-langkahnya mungkin dinilai destruktif padahal sebenarnya bertujuan melindungi rumah bersama.

Kasus ini bukan hanya soal benar atau salah dalam kerangka hukum, tetapi juga soal narasi: siapa yang menulis cerita, siapa yang diberi peran antagonis, dan siapa yang tampil sebagai “Jerry” yang tampaknya menggemaskan padahal lihai menyusun jebakan.

Efek dari vonis ini tentu tak kecil. Banyak kalangan khawatir bahwa para pejabat atau tokoh yang ingin melakukan perubahan akan merasa ciut.

Bila bersuara lantang bisa berujung jeruji, maka pilihan paling aman adalah diam. Dan diam adalah awal dari stagnasi.

Kita hidup dalam zaman di mana simpati publik bisa dibentuk oleh potongan gambar, cuplikan media, atau narasi viral. Dalam kondisi seperti itu, bukan mustahil seseorang yang menjalankan tugas mulia bisa terlihat seperti pengacau.

Kita pun, tanpa sadar, ikut menertawakan Tom si kucing saat ia diledakkan, dijatuhkan, atau dilempar keluar rumah, padahal kita tak pernah bertanya, kenapa ia melakukan semua itu?

Mungkin, dalam kasus Tom Lembong, kita perlu mengubah sudut pandang. Jangan-jangan, kita sedang menyalahkan penjaga rumah, sementara Jerry-nya berkeliaran bebas dan tertawa-tawa di balik lubang dinding.