
oleh: Hanif Zaimar Rahman (kumparan.com)
Setiap kali bencana terjadi, kita diajari untuk menganggapnya sebagai ‘takdir’ atau ‘musibah alam’. Namun apakah benar bencana ekologis yang terjadi murni disebabkan oleh alam atau jangan-jangan ada faktor lain yang selama ini kita abaikan?
Pada tanggal 26 November lalu, kita dikejutkan dengan bencana hujan dan banjir bandang yang menyapu 3 provinsi di Indonesia meliputi Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh. Bencana ini merupakan yang terparah dalam kurun waktu 2 dekade terakhir sejak bencana tsunami Aceh 2004.
BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menulis laporan bahwa setidaknya ada ratusan korban hilang, ribuan yang terluka hingga ratusan ribu rumah warga yang terdampak (6/12/2025).
BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menjelaskan bahwa fenomena hujan deras dan banjir bandang di Pulau Sumatra bagian Utara disebabkan oleh Siklon Tropis Senyar yang terjadi pada tanggal 26 November 2025 (26/11/2025). Badai ini menyebabkan curah hujan ekstrem di wilayah terdampak dan mengakibatkan banir bandang yang tidak dapat terbendung.
Meskipun secara ilmiah penyebab banjir bandang yang terjadi di Sumatra karena faktor alam (hidrometeorologi), tetapi ada masalah yang lebih serius dari hanya sekedar masalah cuaca. Masalah tersebut adalah rusaknya ekosistem yang diakibatkan oleh manusia.
Apakah Bencana yang Terjadi Murni Karena Alam?
Sekarang kita lihat sebuah fakta menarik saat terjadi banjir bandang di Sumatra. Dilansir dari lama Kumparan, terdapat ratusan batang pohon yang ikut terbawa arus banjir dan merusak apapun yang dilaluinya. Kayu-kayu tersebut berakhir terdampar di pesisir pantai Sumatra Barat.
Jika dianalisis secara seksama, maka kita dapat melihat bagaimana bongkahan kayu yang terbawa arus itu terpotong secara rapih. Tentu saja manusia manapun pasti akan paham jika kayu-kayu tersebut bukan terpotong secara alami karena banjir, melainkan karena memang sengaja dipotong dengan mesin/gergaji.
Hal ini mengindikasikan satu hal, bahwa bencana alam yang terjadi di Sumatra bukan murni hanya karena alam, tetapi ada faktor manusia yang terlibat di dalamnya. Maka lebih tepat jika apa yang terjadi di Sumatra disebut sebagai bencana ekologis, bukan bencana alam.
Seperti kata Prof. Emil Salim, bahwa kerusakan lingkungan dan bencana ekologis muncul ketika aktivitas manusia melampaui daya dukung alam dan kebijakan tidak mengendalikan eksploitasi tersebut. Artinya, bencana ekologis adalah bencana yang terjadi karena kerusakan lingkungan yang disebabkan manusia.
Bencana ekologis merupakan masalah serius dengan dampak yang terjadi secara masif. Tentunya apa yang terjadi di Sumatra merupakan salah satu contoh bencana ekologis yang terjadi di dunia.
Mengapa Bencana Ekologis Terus Terjadi?
Berbicara mengenai bencana ekologis bukanlah sesuatu hal yang sederhana. Masalahnya bukan hanya soal kerusakan lingkungan, tetapi juga cara kita mengambil keputusan.
Bencana ekologis itu tidak terjadi karena alam ‘marah’, tetapi karena manusia mengubah lingkungan lebih cepat dari kemampuan alam untuk memulihkan dirinya. Jika mengaitkan dengan fenomena yang terjadi di Sumatra, banjir bandang terjadi disebabkan oleh banyak faktor.
Faktor yang paling dominan adalah rusaknya ekosistem yang terjadi. Sumatra merupakan daerah yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan berbagai macam flora dan fauna khas Asia Tenggara. Namun seiring bertambahnya tahun, hutan-hutan di Sumatra semakin menghilang.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, R. Agus Budi Santosa menjelaskan pada tahun 2024 sekitar 175.400 hektar tutupan hutan menghilang. Angka ini menandai peningkatan hilangnya tutupan hutan sebesar 54.300 hektar dari tahun sebelumnya.
Data tersebut jelas merupakan masalah serius. Artinya hutan di Sumatra semakin berkurang. Ini sangat berdampak bagi daerah resapan air yang nantinya menjadi kunci untuk mencegah banjir terjadi.
Jika jumlah hutan berkurang (terutama di hulu), maka ketika terjadi hujan air akan mengalir dengan deras tanpa sempat ditahan oleh akar pohon.

Pohon dengan akar tunggang
Di wilayah hutan hujan tropis, pohon-pohon umumnya memiliki jenis akar tunggang. Bentuk akar tersebut sangat penting sebagai penopang tumbuhan dan menahan laju air saat hujan terjadi.
Di sini letak masalahnya, jika pohon-pohon yang memiliki fungsi untuk menahan laju derasnya air hujan tidak ada, maka sudah sewajarnya air akan langsung mengalir tanpa diserap/ditahan oleh akar pohon tersebut. Ini yang pada akhirnya menyebabkan banjir bandang yang menghanyutkan apapun yang dilaluinya.
Perlu ditekankan bahwa, akar tunggang memiliki fungsi untuk menahan laju air dengan sangat baik, berbeda dengan akar serabut (seperti pohon kelapa sawit) yang jelas tidak memiliki fungsi untuk menyerap dan menahan laju air sebaik akar tunggang.
Berkaca dari bencana Sumatra yang terjadi akhir November lalu, penyebabnya jelas yaitu deforestasi besar-besaran. Hutan sudah berkurang drastis dan tidak mampu menjaga alam dengan sebagaimana mestinya.
Hal ini diperparah dengan didominasinya hutan hujan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan tanaman industri yang memiliki akar serabut (kelapa sawit). Tanaman tersebut bukan saja mengganggu ekosistem di hutan Sumatra, tetapi akar serabutnya juga tidak memiliki fungsi penahan banjir sebaik akar tunggang.
Perlu diketahui bahwa hutan hujan tropis umumnya didominasi oleh pepohonan dengan akar tunggang yang dalam menembus tanah dengan vegetasi yang sangat beragam (artinya lingkungan hutan hujan tropis tidak hanya memiliki satu jenis pohon/tumbuhan saja, melainkan terdapat berbagai macam tumbuhan yang hidup bersamaan dalam satu kawasan).
Jika ada tanaman industri tunggal yang ditanam dalam jumlah besar dan luas, maka tentunya ini akan sangat berdampak bagi ekosistem tersebut. Sederhananya, tanaman tersebut tidak cocok sebagai pengganti hutan di wilayah yang curah hujannya sangat tinggi.
Apabila tanaman tersebut tetap paksa ditanam, maka ia tidak akan mampu menyesuaikan lingkungan yang memiliki curah hujan yang tinggi, pada akhirnya akan menyebabkan banjir.
Tentunya ini menjadi perhatian serius untuk semua pihak agar peduli dan sadar bahwa lingkungan kita sudah sangat rusak. Namun ada satu faktor yang luput dari masyarakat dan pemerintah.
Kebijakan Tidak Konsisten dan Pengawasan Lemah
Indonesia sendiri sudah memiliki undang-undang yang mengatur pelestarian lingkungan, yaitu Undang‑Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH 2009).
Undang-undang tersebut merupakan payung hukum utama untuk perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Tujuan UU ini sebenarnya sudah sangat jelas, yaitu melindungi lingkungan dari kerusakan, menjaga keselamatan manusia, dan memastikan alam dikelola secara bijak dan berkelanjutan.
Pemerintah pusat dan daerah bahkan diwajibkan membuat perencanaan lingkungan seperti RPPLH (Rencana Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan peta ekoregion sebelum proyek besar dijalankan.
Namun kenyataannya, praktik di lapangan tidak semudah itu. Hal ini berkaitan dengan pengawasan yang lemah.
Saat pembangunan akan dilakukan, maka diperlukannya izin untuk dapat mengakses/membuka lahan tersebut (misalnya seperti izin pembukaan lahan, izin pembangunan infrastruktur, maupun izin pertambangan).
Di sini AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sangat dibutuhkan agar aktivitas pembangunan/ekonomi yang dilakukan tidak terlalu merusak lingkungan dan dapat dilakukan upaya rekonsiliasi agar ekosistem yang terdampak dapat kembali seperti semula.
Namun terkadang, AMDAL tidak dilakukan/diimplementasikan dengan baik. Banyak sekali kasus AMDAL yang diterbitkan hanya sebagai syarat administratif, bukan sebagai instrumen pengawasan lingkungan yang serius.
Dokumen-dokumen AMDAL kerap disusun secara terburu-buru dan tidak melibatkan kajian mendalam. Bahkan lebih parahnya, AMDAL tetap disetujui meski masyarakat menolak atau hasil kajiannya menunjukkan potensi kerusakan yang jelas.

pertambangan yang merusak lingkungan
Ketika instrumen pengaman seperti AMDAL saja tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka wajar jika kerusakan lingkungan terus menerus terjadi dan pada akhirnya memperburuk dampak bencana. Pada titik ini terlihat sangat jelas bahwa persoalannya bukan hanya “bencana alam”, tetapi kegagalan kebijakan yang membiarkan alam dieksploitasi tanpa batas.
Ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa lingkungan dan alam tidak bisa diabaikan. Kalau tetap diabaikan, bencana ekologis akan terus berulang dan masyarakat yang selalu jadi korban.
Apa yang terjadi di Sumatra sebenarnya sudah cukup jelas menunjukkan bahwa alam tidak bisa diperlakukan seenaknya. Jika kita terus menutup mata, maka alam akan terus berbicara dengan cara yang kita paling tidak inginkan.
Apa yang bisa kita Perbaiki?
Banyak pihak ketika bencana terjadi, yang dilakukan itu adalah memberikan bantuan berupa pangan, barang, rehabilitasi maupun pembangunan infrastruktur kembali. Tentunya itu tidak salah, bahkan merupakan pilihan yang tepat di situasi genting.
Namun perlu dianalisis lebih tajam lagi, bahwa bantuan tersebut sifatnya hanya jangka pendek. Bagaimana jika di masa yang akan datang terjadi banjir bandang yang menghanyutkan ratusan orang lagi? Apakah kita akan terus mengulangi siklus yang sama tanpa akhir?
Sekali lagi bahwa bencana ekologis adalah bencana yang diakibatkan oleh manusia itu sendiri. Artinya, bencana ekologis sebetulnya sangat bisa kita cegah. Setidaknya ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk mencegah bencana ekologis dapat terulang kembali.
Pertama, kembalikan hutan sebagaimana mestinya serta daerah hulu sungai. Faktor yang menjadikan banjir bandang di Sumatra semakin memburuk adalah karena ketidakmampuan alam untuk melawan arus banjir akibat gundulnya hutan. Jika hutan berfungsi sebagaimana mestinya, maka dampak banjir akan dapat direduksi (dikurangi).
Kedua, memperbaiki tata ruang dengan lebih baik. Banyak kota-kota di Pulau Sumatra yang tidak dirancang untuk dapat menahan banjir dengan baik. Ketika pembangunan dilakukan, drainase (sistem pembuangan dan penyaluran air) tidak diperhatikan dengan baik. Maka saat terjadi banjir, tentunya sulit untuk diatasi.
Ketiga, meningkatkan dan memperkuat sistem mitigasi bencana. BMKG sudah canggih melakukan berbagai cara untuk memprediksi bencana. Tetapi tidak semua masyarakat dapat mengakses informasi tersebut dengan cepat, terutama di daerah pelosok yang jauh dari pusat kota. Maka perlu untuk meningkatkan aksesibilitas agar semua masyarakat dapat memahami betapa pentingnya edukasi bencana.
Keempat, melakukan pengawasan AMDAL secara ketat. Masalah yang sering sekali terjadi di Indonesia adalah analisis AMDAL yang tidak serius. Perlu adanya evaluasi yang mendalam agar AMDAL dapat terimplementasikan dengan baik. Pengawasan harus semakin diperketat dan transparansi harus dijunjung setiap proses dapat dipantau.
Kelima, meningkatkan kesadaran publik bahwa bencana bukan hanya soal takdir semata. Faktor lingkungan dan perilaku manusia juga memainkan peran besar. Memahami hal ini penting agar kita tidak pasrah, tetapi justru lebih siap mencegah dan mengurangi risiko.
Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat menjadi refleksi kritis bagi kita untuk memahami bahwa bumi dan alam tidak pernah berubah, hanya saja berubah karena kita sebagai manusia yang mengeksploitasi alam semena-mena.
Pada akhirnya, Kita memang tidak bisa menghentikan hujan, badai, atau angin kencang. Tapi kita bisa menghentikan kerusakan yang membuat bencana semakin mematikan. Dan perubahan itu dimulai dari cara kita memperlakukan lingkungan hari ini.
