Pakiah, Baguru dan Saguru

sumber: Singgalang

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَا نَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَآ فَّةً ۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَـتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَ لِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْۤا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ”

Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.”(QS. At-Taubah 9: Ayat 122)

Pakiah pada awalnya adalah panggilan kemuliaan yang dipakaikan oleh masyarakat terhadap orang-orang belajar agama Islam dengan cara berhalakah di Surau, disebut juga mangaji duduk, kemudian berubah menjadi Madrasah, di Sumatera Barat bernama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI).

Sebutan Pakiah kemudian oleh sebahagian orang dipahami sebagai panggilan kurang baik, ketika istilah Pakiah mendapat kritikan oleh kaum pembaharu atau modernis Islam, seperti Buya Hamka dalam bukunya Ayahku, menuliskan istilah “Pakiah Saringgik” bagi anak-anak yang belajar di Surau atau di sebahagian MTI yang meminta sedekah dari rumah ke rumah untuk bekal kuliahnya.

Continue reading